BAB II
PEMBAHASAN
A. KEBUDAYAAN
1. Pengertian Kebudayaan
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah. Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan
sebagai hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture,
juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam
bahasa Indonesia.[1]
Kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung
pengertian yang luas, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota
masyarakat (Taylor, 1987).[2]
Dalam
Islam, istilah ini disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab
Islami yang mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah
melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Rasul-Nya SAW sebagai teladan terbaik dalam hal etika
dan adab ini.
Sebelum
kedatangan Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu
ialah budaya jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh Islam,
misalnya tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain
sebagainya.
Dinul-Islam
sangat menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan
yang universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang
membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia modern untuk
kemaslahatan masyarakat Islami.
Di
dalam Kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa “budaya” adalah pikiran, akal budi, adat
istiadat. Sedang “kebudayaan”
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat.[3]
Kebudayaan
itu ibarat sebuah lensa dimana seperti hal nya saat kita menggunakan lensa,
untuk meneropong sesuatu kita harus memilih suatu objek tertentu yang akan
dilihat secara fokus. Beberapa orang awam mengartikan kebudayaan merupakan
sebuah seni. Padahal sebenarnya kebudayaan itu bukan hanya sekedar seni.
Kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan
kerja dalam kehidupan antar manusia.
Pengertian kebudayaan menurut beberapa ahli:
a.
C.A Van Peursen
Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berfikir
(mitos, ideology dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam
dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.[4]
b.
EB. Taylor
Kebudayaan
adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan kebiasaan lainnya yang
dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.[5]
c.
R. Linton
mendefinisikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku
yang dipelajari dari hasil tingkah laku yang unsur-unsur pembentuknya didukung
dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
d.
S.T. Alisahbana
Mendefenisikan kebudayaan adalah manisfestasi suatu bangsa.
e.
William H.
Haviland
Kebudayaan
adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksnakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku
yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.
f.
Robert H. Lowie
Kebudayaan
merupakan segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup
kepercayaan, adat-istiadat, norma – norma artistik, kebiasaan makan, keahlian
yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan
masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal dan informal.
g. Selo Soemardjan dan
Soelaeman Soemardi
Kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.[6]
h.
Dr.M. Hatta
Kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa.
i.
Prof.Dr.Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalamkehidupan masyarakat.[7]
Untuk melihat manusia
dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam
memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan
unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya.[8]
Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah QS. As-Sajdah 7-9 :
üÏ%©!$# z`|¡ômr&
¨@ä.
>äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB
&ûüÏÛ ÇÐÈ
¢OèO
@yèy_ ¼ã&s#ó¡nS `ÏB 7's#»n=ß
`ÏiB
&ä!$¨B &ûüÎg¨B ÇÑÈ ¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmÏù
`ÏB ¾ÏmÏmr
(
@yèy_ur ãNä3s9
yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur
4
WxÎ=s%
$¨B crãà6ô±n@
ÇÒÈ
Artinya:
(7) Yang
membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.
(8) Kemudian dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina.
(9) Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan
demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya”. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan
kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa
kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.
Al-Qur’an memandang kebudayaan itu
merupakan suatu proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup
manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi
kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Oleh karena
itu, secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta
rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai
kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.[9]
Para
ahli sudah banya menyelidiki berbagai kebudayaan. Dari hasil penyelidikan
tersebut timbul dua pemikiran tentang munculnya suatu kebudayaan atau
peradaban. Pertama, anggapan bahwa
adanya hukum pemikiran atau perbuatan manusia (baca kebudayaan) disebabkan oleh
tindakan yang menuju kepada perbuatan yang sama dan penyebabnya yang sama.
Kedua, anggapan bahwa tingkat kebudayaan atau peradaban muncul sebagai akibat
taraf perkembangan dan hasil evaluasi masing-masing proses sejarahnya.[10]
2. Konsep Kebudayaan Islam
Secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta,
rasa, karsa dan karya manusia yang tidak lepas dari nilai ketuhanan. Hasil
olah akal, budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai kemanusiaan
yang universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam pengembangannya perlu
dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap
pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan diri
sendiri.
Disini agama islam
berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budaya sehingga
menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban islam. Sehubungan dengan
hasil perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau yang
disebut peradaban islam, maka fungsi agama disini akan semakin jelas.
Ketika perkembangan dan
dinamika kehidupan kehidupan umat manusia itu sendiri mengalami kebekuan karena
keterbatasan dalam pemecahan persoalan.
Kehidupannya sendiri akan sangat terasa akan perlunya suatu bimbingan.
Wahyu Allah SWT mengangkat seorang rasul dari golongan manusia yang menjadi
sasaran bimbingannya adalah umat manusia.
Oleh karen itu misi
utama Muhammad SAW diangkat sebagai rasul adalah menjadi rahmat bagi seluruh
umat manusia dan alam semesta. Mengawali tugas kerasulannya Nabi meletakkan
dasar-dasar kebudayaan islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban islam.
Ketika dakwah islam keluar jazirah arab dan tersebar ke seluruh dunia, maka
terjadilah suatu proses panjang yang rumit, yaitu asimilasi budaya-budaya
setempat dengan nilai-nilai islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan islam.
Kemudian ini berkembang secara universal.[11]
Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi
wujud dan isi dari wujud kebudayaan.
Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:[12]
a. Kompleks gagasan,
konsep, dan pikiran manusia: Wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak,
tidak dapat dilihat, dan bersifat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya.
b.
Kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini
sering disebut sistem sosial.
c.
Wujud sebagau benda. Aktivitas manusia yang saling berinteraksi
tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia
untuk mencapai tujuannya.
3. Prinsip-prinsip Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang diciptakan oleh orang Islam, tetapi
kebudayaan yang bersumber dari ajaran Islam atau kebudayaan yang bersifat
Islami.
Prinsip-prinsip kebudayaan dalam Islam merujuk pada sumber ajaran Islam
yaitu[13]:
a.
Menghormati akal
Manusia dengan akalnya bisa membangun kebudayaan baru. Kebudayaan Islam
tidak akan menampilkan hal-hal yang dapat merusak manusia. Dijelaskan dalam QS.
Ali-Imran:190
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal”.
b.
Memotivasi untuk menuntut dan mengembangkan ilmu.
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Muajadalah: 11
Æ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 .....
Artinya:
”Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
berilmu beberapa derajat”.
Ayat
tersebut diatas mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan
dengan cara menjunjung tinggi atau mengadakan dan menghadiri majelis ilmu.
Untuk itu, suatu kebudayaan juga dapat menjadi suatu sumber ilmu yang dapat
memberi berkah dan ilmu yang bermanfaat bagi orang-orang yang melaksanakannya.
Karena Allah akan mengangkat derajat mereka yang telah memuliakan dan memiliki
ilmu di akhirat, pada tempat yang khusus sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian
derajatnya.
c.
Menghindari taklid buta
Kebudayaan Islam hendaknya mengantarkan umat manusia untuk tidak menerima
sesuatu sebelum diteliti. Sebagaimana telah difirmankan Allah Swt:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti dari sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani semua itu akan dimintai
pertanggungjawaban”. (QS. al-Isra:36).
Hikmah dari ayat ini adalah memberikan
batasan-batasan hukuman, janganlah kita mengikuti perkataan dan perbuatan yang
tidak kita ketahui ilmunya. Haram berkata atau berbuat tanpa didasari
oleh ilmu, karena dapat menyebabkan kerusakan. Dan Allah akan menanyakan
seluruh anggota badan dan meminta persaksiannya pada hari Kiamat.
Begitupula dengan kebudayaan, suatu kebudayaan
harus diketahui darimana asal budaya tersebut, apa tujuannya, apa saja unsur-unsurnya,
dan apa saja yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang
berpengetahuan, manusia harus terlebih dahulu mencari tahu bagaimana
keseluruhan kebudayaan yang berlaku tersebut, apakah sudah sesuai syariat dan
tidak menyesatkan manusia ke jalan yang dibenci Allah SWT.
d.
Tidak membuat pengrusakan
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Qashas: 77
Artinya:
“Janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan”.
Islam membagi kebudayaan menjadi tiga
macam :
1)
Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah
fiqih disebutkan : “al-Adatu-muhakkamatun”
artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi
yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum
ada ketentuannya dalam syariat Islam.
2)
Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian
direkonstruksi sehingga menjadi kebudayaan Islami.
3)
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya
Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang
diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Umat Islam tidak boleh mengikutinya bahkam Islam
melarangnya karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak
mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan
derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah
meninggal dunia (Ahmadzain, 2006/12/08).
4. Karakteristik Kebudayaan Islam
Karakteristik
kebudayaan Islam menurut Yusuf Qadhrawi yaitu:
a.
Rabbaniyah (bernuansa ketuhanan)
b.
Akhlaqiyah (perilaku baik dan buruk menurut islam)
c.
Insaniyah (memiliki nilai-nilai kemanusiaan)
d.
‘Alamiyah (bersifat terbuka)
e.
Tassamuh (egaliter)
f.
Tanawwu’ (beranekawarna)
g.
Wasathiyah (bersifat moderat)
h.
Takamul (terpadu)
i.
Bangga terhadap diri sendiri
5. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia
telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama
lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang
perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai
realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering
disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local
tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”,
yang dipengaruhi Islam.[14]
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin
original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini
tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi
pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga
disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate)
adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di
dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara
Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local
genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif
terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh
budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke
dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah
pada perkembangan budaya selanjutnya.[15]
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap
aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan
masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi
budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di
masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local
ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan
ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi
dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan
suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses
akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian
tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi
tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu
memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni,
tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata
lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil
yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya
yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang
beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar
menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada
“ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan
paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya,
“wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni
melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan
Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan
dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.[16]
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana
diceritakan dalam Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota.
Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype
kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan
Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat
kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana
penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat
perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten
pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama
lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap
toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan
pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya
resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau
perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa
dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat
dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek
perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin
hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di
antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga
dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut
seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang
ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan
dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian
dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia
yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan
pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran
bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti
kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi
dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local
nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain
di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera
Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses
akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah,
tepung tawar, dan Marpangir.
B. HUKUM
1. Pengertian Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk
membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol ,
hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat
pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan
atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.[17]
Hukum adalah kumpulan dari berbagai aturan-aturan hidup (tertulis atau
tidak tertulis), yang menentukan apakah yang patut dan tidak patut dilakukan
oleh seseorang dalam pergaulan hidupnya, suatu hal yang khusus yang terdapat
pada peraturan-peraturan hidup itu, yakni bahwa untuk pentaatannya ketentuan
itu dapat dipaksakan berlakunya.[18]
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa negara atau
pemerintah secara resmi melalui lembaga atau intuisi hukum untuk mengatur
tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi
yang harus dipenuhi oleh masyarakat.[19]
Definisi Hukum dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):
a.
peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan
oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
b.
undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan
masyarakat.
c.
patokan (kaidah, ketentuan).
d.
keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan,
vonis.
Pengertian
hukum menurut para ahli:
1) Plato
dilukiskan
dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur
dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.[20]
2)
Aristoteles
“Sesuatu yang
sangat berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari
konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan
putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar”.[21]
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan
pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan
manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan
makaan (ruang) manusia.[22]
2. Tujuan Hukum
Tujuan hukum memberikan peraturan-peraturan (petunjuk,
pedoman) dalam pergaulan hidup, untuk
melindungi individu dalam hubungannya dengan masyarakat sehingga dengan
demikian dapat terwujud suatu keadaan aman, tertib dan adil (Asis Sofioedin,
1973).[23]
Sama halnya
dengan pengertian hukum, banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut
teori-teori dari para ahli:
a.
Prof Subekti, SH
Hukum itu
mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa
dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
b.
Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn
Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai.
Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang
bertentangan secara teliti dan seimbang.
Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya
hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi
hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim
berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.
Secara singkat
Tujuan Hukum antara lain[24]:
1)
Keadilan
2)
Kepastian
3)
Kemanfaatan
Menurut saya sendiri hukum bertujuan untuk mencapai kehidupan yang selaras
dan seimbang, mencegah terjadinya perpecahan dan mendapat keselamatan dalam
keadilan.
3. Unsur Hukum
Hukum mengandung beberapa unsur
berikut:
1.
Peraturan
mengenai tingkahlaku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.
Peraturan itu
dibentuk oleh badan-badan resmi yang berwajib/berwenang.
3.
Peraturan itu
bersifat memaksa.
4.
Sanksi terhadap
pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas dan nyata.
4. Fungsi Hukum
Seperti yang
telah dikemukakan dalam melaksanakan peranan pentingnya bagi masayarakat.
Dengan banyaknya peranan hukum yang tak terhingga banyaknya itu, maka hukum
mempunyai fungsi: “menertibkan dan
mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul”.
Dalam
perkembangan masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari:
a.
Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat Hukum sebagai norma
merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan
mana yang baik dan mana yang tidak.
b.
Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin Hukum
dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik
maupun psikologis.bisa penjatuhan hukuman nyata dan takut berbuat yang
merupakan kekangan.
c.
Sebagai sarana penggerak pembangunan Daya mengikat dan memaksa dari hukum
dapat digunakan atau didaya gunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini
hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
d.
Sebagai fungsi kritis, dewasa ini berkenbang suatu pandangan bahwa hukum
mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan
pengawasan pada aparatur pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas) dan
aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya.
Demikian fungsi
di atas diharapkan terwujudnya ketertiban, keteraturan, keadilan, dan
perkembangan hukum agar terwujudnya kesadaran hukum masyarakat, penegak hukum
di tuntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dalam kehidupan
sehari-hari sehingga hukum di taati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
5. Sumber Hukum
Sumber-sumber hukum ada 2 jenis, yaitu[25]:
a)
Sumber Hukum Materiil
Yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai
perspektif.
b)
Sumber Hukum Formill
Sumber hukum formiil diantaranya yaitu:
(1) Undang-undang
ialah
suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh
penguasa negara.
Contohnya
UU, PP, Perpu dan sebagainya.
(2) Kebiasaan
ialah
perbuatan yang sama yang dilakukan terus-menerus sehingga menjadi hal yang yang
selayaknya dilakukan. Contohnya adat-adat di daerah yang dilakukan turun
temurun telah menjadi hukum
di daerah tersebut.
(3) Keputusan Hakim
(jurisprudensi)
ialah
Keputusan hakim pada masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga
dijadikan keputusan para hakim pada masa-masa selanjutnya. Hakim sendiri dapat
membuat keputusan sendiri, bila perkara itu tidak diatur sama sekali di dalam
UU.
(4) Traktat
ialah
perjanjian yang dilakukan oleh dua negara ataupun lebih. Perjanjian ini
mengikat antara negara yang terlibat dalam traktat ini. Otomatis traktat ini
juga mengikat warganegara-warganegara dari negara yang bersangkutan.
(5) Pendapat para Ahli
Hukum
Pendapat
atau pandangan para ahli hukum yang mempunyai pengaruh juga dapat menimbulkan hukum.
Dalam jurisprudensi, sering hakim menyebut pendapat para sarjana hukum. Pada
hubungan internasional, pendapat para sarjana hukum sangatlah penting.
Sumber
pengenal hukum Islam dalam pengertian hukum syariat adalah al-Qur’an dan
kitab-kitab hadis yang mengandung firman Allah dan Sunnah Nabi Muhammad. Sumber
pengenal hukum Islam dalam pengertian hukum fiqih adalah kitab-kitab fiqih yang
memuat hasil ijtihad para ahli hukum Islam berdasarkan al-Qur’an dan kitab-kiab
hadis tersebut.[26]
6. Hukum dalam Islam
Adapun hukum
Islam itu berlaku bagi orang dewasa (mukallaf) atau orang yang sudah baligh,
yakni sudah cukup umur, berakal sehat dan sudah menerima seruan agama semenjak
ia berumur 9 tahun, bagi pria dan wanita bila sudah bermimpi basah (tanda
dewasa). Umur 9 tahun bagi wanita yang sudah haidh, sedang untuk pria dan
wanita yang belum bermimpi ataupun haidh tapi ia sudah berumur 15 tahun maka
sudah termasuk usia baligh.[27]
Adapun
hukum-hukum dalam Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
- Wajib
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki
hukum wajib adalah shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, dan Zakat.
- Mandud atau Sunnah
Mandud atau sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk
dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya
perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan
tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang
memiliki hukum mandud atau sunnah ialah shalat yang dikerjakan
sebelum/sesudah shalat fardhu.
- Haram
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan
siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang
memiliki hukum haram adalah membunuh, mabuk, judi, dan sebagainya.
- Makruh
Perbuatan makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya
itu lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini
adalah memakai sutra atau cincin emas bagi laki-laki.
- Mubah
Ada yang mengartikan bahwa mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah makan, minum, bermain yang sehat dan sebagainya.
7. Hukum di Indonesia menurut Konsep Islam
Islam adalah salah satu
agama yang dianut oleh masyarakat dunia saat ini dan termasuk di antara
agama-agama besar di dunia, jumlahnya tak kurang dari ¼ penduduk dunia saat ini
6,8 Milyar. Sedangkan di Indonesia menjadi agama yang dianut oleh mayoritas
penduduk, lebih dari 85% jumlah penduduk.
Fakta ini tidak
terlepas dari sejarah masuk dan berkembangnya berbagai agama dan kepercayaan di
Indonesia sejak berdirinya negara Nusantara I Sriwijaya, negara Nusantara II
Majapahit, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum kemerdekaan, setelah
kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, masa reformasi, dan hingga saat
ini.
Boleh dikatakan
penyebaran Islam di Indonesia hampir sebagian besar merupakan andil dan peran
para pedagang. Mereka yang berstatus sebagai pedagang itu ada yang dianggap
sebagi wali (Wali Sanga) oleh masyarakat di Pulau Jawa. Dalam menjalankan
misinya mendakwahkan Islam, tak jarang para wali menerapkan strategi dakwah
melalui unsur-unsur budaya masyarakat tempatan.
Ini dapat dilihat dari
seni yang merupakan akulturasi nilai-nilai Islam dan budaya Jawa, misalnya
wayang, penggunaan bedug, seni arsitektur masjid, perayaan keagamaan, dan sebagainya.
Perkembangan
terbentuknya negara Indonesia dan tatanan kenegaraanya itu, jika dilihat dari
sisi pengaturan kehidupan beragama warga negaranya, Indonesia dikatakan bukan
sebagai negara agama (teokrasi) dan bukan pula negara sekuler – oleh Gus Dur
dikatakan sebagai “negara yang bukan-bukan”.
Indonesia dikatakan
bukan sebagai negara agama (teokrasi) yang berdasar penyelenggaraan negara pada
agama tertentu saja, karena negara tidak campur tangan terhadap tata cara
pengamalan, ritual masing-masing agama. Yang diatur adalah administrasi setiap
agama yang ada di Indonesia sehingga dalam menjalankan kegiatan agama dan
keagamaan tidak berbenturan dan mengganggu agama lain.
Di sinilah pentingnya
menjaga dan membangun Kerukunan Umat Beragama sebagai salah satu tugas Negara
untuk melindungi setiap warganya dalam memeluk agama dan beribadat menurut
kepercayaannya.
Indonesia juga bukan
negara sekuler apalagi negara atheis, karena negara yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa seperti tercantum dalam Sila Pertama Pancasila dan pasal 29 UUD
1945 ini, tidak membenarkan warga negaranya hidup tanpa memeluk agama atau
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konstelasi sistem
hukum dunia atau sistem hukum utama (major legal system), hukum Islam (Islamic
Law) diakui dalam masyarakat Internasional di antara hukum hukum lainnya
seperti Hukum Sipil (Civil Law), Hukum Kebiasan Umum (Common Law), Hukum
Sosilis (Socialist Law), Sub-Saharan Africa, dan Far East.
8. Penerapan hubungan Agama Islam dan Hukum
Sebelum
kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda
penerapan syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya
bidang hukum keluarga (pernikaran). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum
yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat
sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu
Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di
Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain:
Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah
jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat Daniel
S. Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap berlaku bagi
golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku hukum Belanda
berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri Belanda.
Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya masing-masing
kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa. Dengan berlakunya
pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah Belanda menerapakan
suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut dengan hukum antar
golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau masalah antar orang
yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah
Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber
dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam
serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan
meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang
hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam
baik secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum
nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam
tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.
Terdapat
perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling
pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional
Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum
Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan,
undang-undang pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum
pidana. Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum
Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama
dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam
terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh
tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Pada bidang
ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal ini
disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait
dengan ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan urusan internal agama
masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain, pemberlakuan
hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan tantangan
perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan sekularisme juga,
yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah negara atau
publik.
Perjuangan penerapan hukum Islam adalah sebuah jalan yang panjang
yang harus dilakukan oleh seluruh elemen umat. Edukasi dan dakwah, tekanan
politik, penyebarlausan wacana dan juga perumusan lebih jauh hukum islam dalam
bentuk hukum positif haruslah terus dilaksanakan. Insya Allah penerapan syariat
islam adalah sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu saja hal itu akan
diterapkan.
[2] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm.19
[3]
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:
Widya Karya, 2005)
[5] Pengertian Kebudayaan Menurut
Para Ahli | Blog Penerang http://www.blogpenerang.com/2013/04/pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli.html
[10] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Aditama, 2001) hlm. 19
[12] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm.19
[14]
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di
Indonesia: Pengalaman Islam, hal. 13.
[15] Soejanto
Poespowardojo, Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam modernisasi,
kepribadian budaya bangsa (local genius), hal. 28
[16]
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam di
Indonesia, hlm. 209.
[18] Dr. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Rajawali
Pers, 2010), hlm. 10
[22] Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
(Jakarta: Permadani, 2005), hlm. 2005
[23] Dr. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Rajawali
Pers, 2010), hlm. 133
[26] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar