TUGAS
TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU
Bimbingan
Konseling Aidia
Rasyid, S.Pdi
Wawasan
Dasar Bimbingan dan Konseling
di
Sekolah
Oleh
KELOMPOK
1:
DESSY
FITRIANI :
11215202476
DINI
WAHYUNINGSIH : 11215200742
MILLA
EKA PUTRI : 11215201324
PUTRI
DWI HAZMI : 11215201577
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang
maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri,
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk
mencapai tujuan pendidikan itu, murid harus berkembang secara optimal dengan
kemampuan untuk berkreasi, mandiri, bertanggung jawab, dan dapat
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Pendidikan harus membantu bukan hanya
mengembangkan kemampuan intelektualnya, tetapi juga kemampuan mengatasi masalah
yang ditemuinya dalam interaksinya dengan lingkungan.
Sekolah
tidak hanya berfungsi memberikan pengetahuan dalam kegiatan belajar mengajar di
kelas, tetapi juga dapat mengembangkan keseluruan kepribadian anak. Oleh karena
itu, guru harus mengetahui lebih dari sekedar masalah bagaimana mengajar yang
efektif. Untuk itu sebagai calon guru kita perlu mengetahui wawasan dan
pemahaman tentang layanan dan konseling di sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Bimbingan dan
Konseling?
2. Bagaimana Orientasi Bimbingan dan Konseling di
Sekolah?
3. Bagaimana Fungsi Bimbingan dan Konseling di
Sekolah?
4. Bagaimana Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
di Sekolah?
5. Bagaimana Azas Bimbingan dan Konseling di Sekolah?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Bimbingan
dan Konseling
2. Untuk Mengetahui Orientasi Bimbingan dan Konseling di
Sekolah
3. Untuk Mengetahui Fungsi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
4. Untuk Mengetahui Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
di Sekolah
5. Untuk Mengetahui Azas Bimbingan dan Konseling di Sekolah
D. Kegunaan Makalah
1. Bagi Penulis
Penulisan
makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dalam
matakuliah Bimbingan dan Konseling.
2. Bagi Pihak Lain
Makalah
ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan “Wawasan Dasar Bimbingan dan Konseling di
Sekolah “, serta menjadi bahan bacaan yang berguna dan bermanfaat.
E. Metode Penulisan Makalah
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka di mana
mengambil sumber dari berbagai literatur, baik cetak maupun elektronik. Dan
penulis juga menambahkan pemikiran-pemikiran yang muncul ke dalam makalah ini
sehingga menjadi makalah seperti sekarang ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bimbingan dan Konseling
1.
Pengertian Bimbingan
Jika
ditelaah berbagai sumber akan dijumpai pengertian-pengertian yang berbeda
mengenai bimbingan, tergantung dari jenis sumbernya dan yang merumuskan
pengertian tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan hanyalah oleh perbedaan
tekanan atau dari sudut pandang saja.
Bimbingan
dan konseling merupakan terjemahan dari “guidance” dan “counseling”
dalam bahasa Inggris. Secara harfiah istilah “guidance” dari akar kata “guide”
berarti: mengarahkan (to direct), memandu (to pilot), mengelola (to
manage), dan menyetir (to steer).[1]
“Bimbingan
adalah proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan
pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara
maksimum kepada sekolah, keluarga, serta masyarakat”.[2]
Bimbingan
merupakan bantuan yang diberikan kepada seseorang (individu) atau sekelompok
orang agar mereka itu dapat berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mandiri.
Kemandirian ini mencakup lima fungsi pokok yang hendaknya dijalankan oleh
pribadi mandiri, yaitu: (a) mengenal diri sendiri dan lingkungannya, (b)
menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamis, (c)
mengambil keputusan, (d) mengarahkan diri, dan (e) mewujudkan diri (Prayitno,
1983:2 dan 1987:35).
Pakar
bimbingan yang lain mengungkapkan bahwa: Bimbingan ialah suatu proses pemberian
bantuan yang terus-menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing
agar ercapai kemandirian dalam peemahaman diri, peneriamaan diri, pengarahan
diri, dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal
dalam penyesuaian diri dengan lingkungan (Moh. Surya, 1988: 12).
Lebih
lanjut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bimbingan adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa
orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan
memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan
norma yang berlaku (Prayitno, 2004: 99).
Dengan
membandingkan beberapa defenisi tentang bimbingan yang telah dikemukakan oleh
beberapa pakar diatas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa bimbingan
adalah proses pemberian bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok
orang secara terus-menerus dan sistematis oleh pembimbig agar individu atau
sekelompok individu menjadi pribadi yang mandiri, yaitu: (a) mengenal diri
sendiri dan lingkungannya, (b) menerima diri sendiri dan lingkungannya secara
positif dan dinamis, (c) mengambil keputusan, (d) mengarahkan diri, dan (e) mewujudkan
diri.
Untuk
memudahkan kita tentang pengertian umum bimbingan, dibawah ini dikemukakan
huruf-huruf bimbingan yang dijadikan akronim sebagai unsur-unsur pokok yang ada
dalam usaha bimbingan (Prayitno, 1983: 3, 1987: 36 dan 2004: 131), yaitu:
B = bantuan
I = individu
M = mandiri
B = bahan
I = interaksi
N = nasihat
G = gagasan
A = alat dan asuhan
N = norma
Dengan
memasukkan semua unsur diatas dapat dikatakan bahwa bimbingan merupakan bantuan
yang diberikan kepada individu (seseorang) atau kelompok (sekelompok orang) agar
mereka itu dapat mandiri melalui berbagai bahan, interaksi, nasihat, gagasan,
alat, dan asuhan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku.[3]
Pemberian
bantuan yang dimaksudkan diatas dapat dilakukan melalui berbagai cara serta
menggunakan berbagai saluran dan bahan yang ada. Salah satu bahan yang bisa
dipakai, misalnya baham mereka diberikan kesempatan untuk membaca dan menelaah
sebuah buku tentang soapan-santun, tata tertib, disiplin, cara belajar yang
efektif, dan sebagainya.
Cara
atau saluran yang amat penting untuk memberikan bantuan pada seorang siswa
melalui apa yang disebut interaksi adalah hubungan dengan orang lain, baik
hubungan itu bersifat resmi maupun tidak resmi, secara tatap muka maupun jarak
jauh, dalam suasana perseorangan (pribadi) maaupun kelompok. Hubungan dengan
orang-orang lain sangat penting dan perlu, terutama sekali apabila masalah yang
dihadapi siswa (si terbimbing) mengandung aspek hubungan seperti itu.
Cara-cara
atau saluran lain yang bisa dilalui dalam memberikan bimbingan ialah dengan
memberikan nasehat, mengemukakan gagasan, ide-ide atau buah pikiran,
menyediakan alat, dan mengembangan suasana asuhan.Pemberian nasihat dalam
suasana bimbingan sifatnya langsung memberikan arah atau jawaban terhadap
pemecahan masalah yang dihadapi dan menunjukkan apa-apa yang hendaknya
dilakukan oleh siswa yang dibimbing.
Adapun
asuhan merupakan suasana umum yang hendak ditimbulkan dalam suasana bimbingan,
yaitu suasana yang biasanya diistilahkan sebagai tut wuri handayani, ing
madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada. Dalam suasana asuhan seperti
itu rasa hormat-menghormati dan kasih sayang mewarnai seluruh kegiatan yang
diselenggarakan itu. Para guru pembimbing (konselor) disekolah dengan penuh
rasa tanggung jawab melaksanakan pembinaan terhadap peserta didik dan peserta
didik itu sendiri menjalani perkembangan diri dengan penuh gairah.
Suatu
hal yang perlu diingat dalam usaha bimbingan ialah baha usaha itu harus
didasarkan pada norma-norma yang berlaku, baik norma agama, norma adat, maupun
norma negara (hukum). Tujuan dan pelaksanaan bimbingan tidak boleh menyimpang
dai norma-norma yang berlaku di masarakat.
2.
Pengertian Konseling
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa Latin,
yaitu “consilium” yang berarti
“dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”.
Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan”
yang berarti “menyerahkan” atau “menyampaikan”.[4]
Konseling merupakan teremahan dari counseling, yaitu bagian
dari bimbingan, baik sebagai pelayanan maupun sebagai teknik. Pelayanan
konseling merupakan jantung hati daru usaha layanan bimbingan secara
keseluruhan (counseling is the heart of guidance program) dan Ruth
Strang menyatakan guidance is broader counseling is a most important tool of
guidance. (Ruth Strang, 1958). Jadi, konseling merupakan inti dan alat yang
paling penting dalam bimbingan.
Selanjutnya, Rochman Natawidjaja (1987: 32) mendefenisikan bahwa
konseling adalah suatu jenis pelayanan yang merupakan bagian terpadu dari
bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua
orang idividu, diamana yang seorang (konselor) berusaha membantu yag lain
(konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan
dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan datang.[5]
Robinson (M. Surya dan Rochman N., 1986: 25) mengartikan konseling
adalah “semua bentuk hubungan antara dua orang, dimana yang seorang, yaitu
klien dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap
dirinya sendiri dan lingkungannya.” Suasana hubungan konseling ini meliputi
penggunaan awancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi, melatih
atau mengajar, meningkatkan kematangan, memberikan bantuan melalui pengambilan
keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi).
ASCA
(American School Conselor Association) mengemukakan bahwa:
Konseling
adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap
peneriamaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor
mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi
masalah-masalahnya.[6]
Pengertian umum konseling dibawah ini dikemukakan huruf-huruf
konseling yang dijadikan akronim sebagai unsur-unsur pokok yang ada dalam usaha
konseling (Prayitno, 2004, 131), yaitu:
K = kontak
O = orang
N = menangani
S = masalah
E = expert (ahli)
L = laras
I = integrasi
N = norma
G = guna
Dengan demikian, pengertian konseling adalah kontak antara dua
orang (konselor atau konseli) untuk menangani masalah konseli, norma yang
berlaku, untuk tujuan-tujuan yang berguna bagi konseli.[7]
B.
Orientasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Orientasi yang
dimaksud disini adalah “pusat perhatian” atau “titik berat pandangan”.
Misalnya, seseorang yang berorientasi ekonomi dalam pergaulan, maka ia akan
menitik beratkan pandangan dan memusatkan perhitungan untung rugi yang dapat
ditimbulkan olehpergaulan yang ia adakan dengan orang lain; sedangkan orang
yang berorientasi agama akan melihat pergaulan itu sebagai lapangan tempat
dilangsungkannya ibadah menurut ajaran agama.
Apakah yang
menjadi titik berat pandangan atau pusat perhatian konselor terhadap kliennya?
Itulah orientasi bimbingan dan konseling yang menjadi pokok pembicaraan pada
bagian ini.
1.
Orientasi Perseorangan
“Orientasi
perseorangan” bimbingan dan konseling menghendaki agar konselor menitik
beratkan pandangan pada siswa secara individual. Satu per satu siswa perlu
mendapatkan perhatian. Pemahaman konselor yang baik terhadap keseluruhan siswa
sebagai kelompk dalam kelas itu juga penting, tetapi arah pelayanan dan
kegiatan bimbingan ditujukan kepada masing-masing siswa. Kondisi keseluruhan
(kelompok) siswa itu merupakan konfigurasi (bentuk keseluruhan) yang dampak
positif dan negatifanya terhadap siswa secara individual harus diperhitungkan.
Berkenaan dengan
isu “kelompok” atau “individu”, konselor memilih individu sebagai titik berat
pandangannya. Dalam hal ini individu diutamakan dan kelompok dianggap sebagai
lapangan yang dapat memberikan pengaruh tertentu kepada individu. Dengan kata
lain, kelompok dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan
individu, dan bukan sebaliknya. Pemusatan perhatian terhadap individu itu sama
sekali tidak berarti mengabaikan kepentingan kelompok, dalam hal ini
kepentingan kelompok diletakkan dalam kaitannya dengan hubungan timbale balik
yang wajar antar individu dan kelompoknya. Kepentingan kelompok dalam arti
misalnya keharuman nama dan citra kelompok, kesetiaan dalam kelompok,
kesejahteraan kelompok, dan sebagainya, tidak terganggu oleh pemusatan pada
kepentingan dan kebahagiaan individu yang menjadi anggota kelompok itu.
Kepentingan kelompok justru dikembangkan dan ditingkatkan melalui terpenuhinya
kepentingan dan tercapainya kebahagiaan individu. Apabila secara individual
anggota kelompok itu dapat terpenuhi kepentingannya dan merasa bahagia dapat
diharapkan kepentingan kelompok itu terpenuhi pula. Lebih-lebih lagi, pelayanan
bimbingan dan konseling berprientasikan individu sama sekali tidak boleh
menyimpang ataupun bertentangandengan nilai-nilai ynag berkembang. Di dalam
kelompok sepanjang nilai-nilai itu sesaui dengan norma-norma umum yang berlaku.
Sejumlah kaidah
yang berkaitan dengan orientasi perorangan dalam bimbingan dan konseling dapat
dicatat sebagai berikut:
a) Semua kegiatan yang diselenggarakan
dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling diarahkan bagi peningkatan
perwujudan diri sendiri setiap individu.
b) Pelayanan bimbingan dan konseling
meliputi kegiatan kerkenaan denganindividu untuk memahami
kebutuhan-kebutuhannya, motivasi-motivasinya, dan kemampuan-kemampuan
potensialnya, yang semuanya unik, serta untuk membantu individu agar dapat
menghargai kebutuhan, motivasi, dan potensinya itu kearah pengembangannya yang
optimal dan pemanfaatan yang besar-besarnya bagi diri dan lingkungannya.
c) Setiap klien harus diterima sebagai
individu dan harus ditangani secara individual (Rogers, dalam McDaniel, 1956)
d) Adalah menjadi tanggung jawab konselor
untuk memahami minat, kemampuan, dan perasaan klien serta untuk menyesuaikan
program-program pelayanan dengan kebutuhan klien setepat mungkin. Dalam hal
itu, penyelenggaraan program yang sistematis untuk mempelajari individu
merupakan dasar yang tak terelakkan bagi berfungsinya program bimbingan
(McDaniel, 1956).
Kaidah-kaidah
tersebut akan diturunkan sampai dengan penerapannya dalam berbagai jenis
layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
2.
Orientasi Perkembangan
Orientasi
perkembangan dalam bimbingan dan konseling lebih menekankan pentingnya peranan
perkembangan yang terjadi dan yang hendaknya diterjadikan pada diri individu.
Bimbingn dan konseling memusatkan perhatiannya pada keselurhan proses
perkembangan itu.
Menurut Myrick
(dalam Mayers, 1992) perkembangan individu secara tradisional dari dulu sampai
sekarang menjadi inti dari pelayanan bimbingan. Sejak tahun 1950-an penekanan
pada perkembangan dalam bimbingan dan konseling sejalan dengan konsepsi
tugas-tugas perkembangan yang dicetuskan Havighurst (Hansen, dkk., 1976). Dalam
hal itu, peranan bimbingan dan konseling adalah memberikan kemudahan-kemudahan
bagi gerak individu menjalani alur perkembangannya. Pelayanan bimbingan dan
konseling berlangsung dan dipusatkan untuk menunjang kemampuan inheren individu
bergerak menuju kematangan dalam perkembangannya.
Ivey dan Rigazio
Digilio (dalam Mayers,1992) menekankan bahwa orientasi perkembangan merupakan
cirri khas yang menjadi inti gerakan bimbingan. Perkembangan merupakan konsep
inti dan terpadukan, serta menjadi tujuan dari segenap layanan bimbingan dan
konseling. Selanjutnya ditegaskan bahwa, praktek bimbingan dan konseling tidak
lain adalah memberikan kemudahan yang berlangsung perkembangan yang
berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi oleh individu harus diartikan sebagai
terhalangnya perkembangan, dan hal itu semua mendorong konselor dank lien
bekerja sama untuk menghilangkan penghalang itu serta mempengaruhi lajunya
perkembangan klien.
Secara khusus,
Thompson & Rudolph (1983) melihat perkembangan individu dari sudut
perkembangan kognisi. Dalam perkembangannya, anak-anak berkemungkinan mengalami
hambatan perkembangan kognisi dalam empat bentuk:
a) Hambatan egosentrisme, yaitu
ketidakmampuan melihat kemungkinan lain diluar apa yang dipahaminya.
b) Hambatan konsentrasi, yaitu
ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek tentang
suatu hal.
c) Hambatan reversibilitas, yaitu ketidak
mampuan menelusuri alur yang terbalik dari alur yang dipahami semula.
d) Hambatan transformasi, ketidak mampuan
meletakkan sesuatu pada susunan urutan yang ditetapkan.
Thompson dan
Rudolph menekankan bahwa tugas bimbingan dan konseling adalah menangani
hambatan-hambatan perkembangan itu.
3.
Orientasi Masalah
Ada yang
mengatakan bahwa hidup dan berkembang itu mengandung resiko. Perjalanan
kehidupan dan proses perkembangan sering kali ternyaa tidak mulus, banyak
mengalami hambatan dan rintangan. Padahal tujuan umum bimbingan dan konseling,
sejalan dengan tujuan hidup dan perkembangan itu sendiri, kebahagiaan. Hambatan
dan rintangan dalam perjalanan hidup dan perkembangan pastilah akan mengganggu
tercapainya kebahagiaan itu. Agar tujuan hidup dan perkembangan, yang
sebagiannya adalah tujuan bimbingan dan konseling, itu dapat tercapai dengan
sebaik-baiknya, maka resiko yang mungkin menimpa kehidupan dan perkembangan itu
harus di waspadai. Kewaspadaan terhadap timbulnya hambatan dan rintangan itulah
yang melahirkan konsep orientasi masalah dalam pelayanan bimbingan dan
konseling.
Dalam kaitannya
dengan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling yang telah dibicarakan, orientasi
masalah secara langsung bersangkut-paut dengan fungsi pencegahan dan fungsi
pengentasan. Fungsi pencegahan menghendaki agar individu dapat terhindar dari
masalah-masalah yang mungkin membebani dirinya, sedangkan fungsi pengetasan
menginginkan agar individu yang sudah terlanjur menghadapi masalah dapat
terentaskan masalahnya. Fungsi-fungsi lain, yaitu fungsi pemahaman dan fungsi
pemeliharaan/pengembangan pada dasarnya dasarnya juga bersangkut paut dengan
permasalahan pada diri klien. Fungsi pemahaman memungkinkan individu memahami
berbagai informasi dan aspek lingkungan yang didapat berguna untuk mencegah
timbulnyamasalah pada diri klien, dan dapat pula bermanfaat didalam upaya
pengentasan masalah yang telah terjadi. Demikian pula fungsi pemeliharaan dapat
mengarah pada tercegahkan ataupun terentaskannya masalah-masalah tertentu.
Dengan demikian konsep orientasi masalah terentang seluas daerah beroperasinya
fungsi-fungsi bimbingan, dan dengan demikian pula menyusupi segenap jenis
layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
Jenis masalah
yang (mungkin) diderita oleh individu amat bervariasi. Roos L. Mooney (dalam
prayitno,1987) mengidentifikasi 330 masalah yang digolongkan kedalam sebelas
kelompok masalah, yaitu kelompok masalah yang berkenaan dengan:
a) Perkembangan jasmani dan kesehatan (PJK)
b) Keuangan, keadaan lingkungan, dan
pekerjaan (KLP)
c) Kegiatan social dan reaksi (KSR)
d) Hubungan muda-mudi, pacaran dan
perkawinan (HPP)
e) Hubungan social kejiwaan (HSK)
f) Keadaan pribadi kejiwaan (KPK)
g) Moral dan agama (MDA)
h) Keadaan rumah dan keluarga (KRK)
i) Masa depan pendidikan dan pekerjaan (MPP)
j) Penyesuaian terhadap tugas-tugas sekolah (PTS)
k) Kurikulum sekolah dan prosedur
pengajaran (KPP)
Frekuensi
didalamnya masalah-masalah tersebut juga bervariasi. Satu jenis masalah
barangkali lebih banyak di alami, sedangkan masalah yang lain lebih jarang
muncul. Frekuensi munculnya masalah-masalah itu diwarnai oleh berbagai kondisi
lingkungan.[8]
C.
Fungsi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Pelayanan
bimbingan dan konseling mengemban sejumlah fungsi yang hendak dipenuhu melalui
pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
1.
Fungsi pemahaman,
yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan pemahaman tentang
sesuatu oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan kepentingan pengembangan
peserta didik. Pemahaman itu meliputi:
a.
Pemahaman tentang diri peserta didik, terutama oleh peserta didik sendiri,
orang tua, guru pada umumnya, dan guru pembimbing (konselor).
b.
Pemahaman tentang lingkungan peserta didik (termasuk didalamnya
lingkungan kelurga dan sekolah), terutama oleh peserta didik sendiri, orang
tua, guru pada umumnya, dan guru pembimbing (konselor).
c.
Pemahaman tentang lingkungan “yang lebih luas” (termasuk didalamnya
informasi pendidikan, informasi jabatan/pekerjaan, dan informasi sosial dan
budaya/nila-nilai), terutama oleh peserta didik.
2.
Fungsi pencegahan,
fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan tercegahnya atau
terhindarnya peserta didik dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul, yang
akan dapat mengganggu, menghambat ataupun menimbulkan kesulitan dan kerugian-kerugian
tertentu dalam proses perkembangannya.
3.
Fungsi pengentasan, yaitu
fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan terentaskannya atau
teratasinya berbagai permasalahan yang dialami oleh peserta didik.
4.
Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yatu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan
terpelihara dan terkembangnya berbagai potensi dan kondisi positif peserta
didik dalam rangka perkembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.[9]
5. Fungsi
advokasi yaitu
fungsi bimbingan dan konseling yang akan meghasilkan teradvokasi atau pembelaan
terhadap peserta didik dalam rangka upaya pengembanan seluruh potensi secara
optimal.[10]
Fungsi-fungsi tersebut diwujudkan melalui diselenggarakannya
berbagai jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling untuk mencapai
hasil sebagaimana terkandung di dalam masing-masing fungsi itu. Setiap
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan harus secara
langsung mengacu kepada satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut agar hasil-hasil
yang hendak dicapainya secara jelas dapat diidentifikasi dan dievaluasi.[11]
D.
Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Dalam layanan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan sejumlah
prinsip yaitu:
1.
Prinsip-prinsip berkenaan dengan sasaran layanan
a.
Bimbingan dan konseling melayani semua individu tanpa memandang
umur, jenis kelamin, suku agama dan status sosial ekonomi.
b.
Bimbingan dan konseling berurusan dengan pribadi dan tingkah laku
individu yang unik dan dinamis.
c.
Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya tahap dan berbagai
aspek perkembangan individu. Bimbingan dan konseling memberikan perhatian utama
kepada perbedaan individual yang menjadi orientasi pokok pelayanan.
2.
Prinsip-prinsip berkenaan dengan permasalahan individu
a.
Bimbingan dan konseling berurusan dengan hal yang menyangkut
pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap penyesuaian dirinya di rumah,
di sekolah, serta kaitannya dengan kontak sosial, pekerjan dan sebaliknya pengaruh
lingkungan terhadap kondisi mental dan fisik individu.
b.
Kesenjangan sosial, ekonomi dan kebudayaan merupakan faktor
timbulnya masalah pada individu yang menjadi perhatian utama pelayanan
bimbingan dan konseling.
3.
Prinsip-prinsip berkenaan dengan program layanan
a.
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari upaya pendidikan
dan pengembangan individu, oleh karena itu program bimbingan dan konseling
harus diselaraskan dan dipadukan dengan program pendidikan serta pengembangan
pesrta didik
b.
Program bimbingan dan konseling harus fleksibel disesuaikan
kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi lembaga program bimbingan dan
konseling disusun secara berkelanjutan dari jenjang pendidik terendah sampai
tertinggi
c.
Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling perlu
diarahkan yang teratur dan terarah
4.
Prinsip-prinsip berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan layanan
a.
Bimbingan dan konseling diarahkan untuk pengembangan individu yang
akhirnya mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan
b.
Dalam proses bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan
akan dilaksanakan oleh individu hendaknya atas kemampuan individu itu sendiri
bukan karena kemauan atau desakan dari pembimbing atau pihak lain
c.
Permasalahan individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam dalam
bidang yang relevan dalam permasalahan yang dihadapi
d.
Kerjasama antara guru pembimbing, guru lain dan orang tua yang akan
menentukan hasil bimbingan
e.
Pengembangan program layanan bimbingan dan konseling ditempuh
melalui pemanfaatan yang maksimal melalui hasil pengukuran dan penialaian
terhadap individu yang terlibat dalam proses layanan dan program bimbingan dan
konseling itu sendiri.[12]
Peters
dan Farwell mencatat 18 prinsip khusus bimbingan di lingkungan sekolah, yaitu
sebagai berikut:
1.
Bimbingan ditujukan bagi semua siswa
2.
Bimbingan membantu perkembangan siswa ke arah kematangan
3.
Bimbingan merupakan proses layanan bantuan kepada siswa yang
berkelanjutan dan terintegrasi
4.
Bimbingan menekankan berkembangnya potensi siswa secara maksimum
5.
Guru merupakan co-fungsionaris dalam proses bimbingan
6.
Konselor merupakan co-fungsionaris utama dalam proses bimbingan
7.
Administrator merupakan co-fungsionaris yang mendukung ke;ancaran
proses bimbingan
8.
Bimbingan bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran siswa
akan lingkungan (dunia di luar dirinya) dan mempelajari secara efektif
9.
Untuk mengimplementasikan berbagai konsep bimbingan diperlukan
program bimbingan yang terorganisasi dengan melibatkan pihak administrator,
guru, dan konselor
10.
Bimbingan perkembangan membantu siswa untuk mengenal, memahami,
menerima, dan mengembangkan dirinya sendiri
11.
Bimbingan perkembangan berorientasi kepada tujuan
12.
Bimbingan perkembangan menekankan kepada pengambilan keputusan
13.
Bimbingan perkembangan berorientasi masa depan
14.
Bimbingan perkemangan melakukan penilaian secara periodik terhadap
perkembangan siswa sebagai seorang pribadi yang utuh
15.
Bimbingan perkembangan cenderung membantu perkembangan sisw secara
langsung
16.
Bimbingan perkembangan difokuskan kepada individu dalan kaitannya
dengan perubahan kehidupan sosial budaya yang terjadi
17.
Bimbingan perkembangan difokuskan kepada pengembangan kekuatan
pribadi
18.
Bimbingan perkembangan difokuskan kepada proses pemberian dorongan.[13]
E.
Azas Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling kaidah-kaidah
tersebut dikenal dengan azs-azas bimbingan dan konseling, yaitu
ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu.
Apabila azas-azas itu diikuti dan diselenggarakan dengan baik sangat dapat
dihrapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan;
sebaliknya, apabila azas-azas itu diabaikan atau dilanggar sangat dikhawatirkan
kegiatan yang dilaksanakan itu justru berlawanan dengan tujuan bimbingan dan
konseling, bahkan akan dapat merugikan orang-orang yang terlibat di dalam
pelayanan, serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri.
Azas-azas yang dimaksus adalah azas kerahasiaan, kesukarelaan,
keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan, kedinamisan, keterpaduan,
kenormatifan, keahlian, ahli tangan, dan tut wuri handayani (Prayitno, 1987).
1.
Azas Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh
diasampaikan kepada orang lain, atau lebih-lebih hal atau keterangan yang tidak
layak diketahui oarang lain. Azas kerahasiaan ini merupakan azas kunci dalam
usaha bimbingan dan konseling. Jika azas ini benar-benar dilaksanakan, maka
penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua
pihak; terutama penerima bimbingan klien sehingga mereka akan mau memanfaatkan
jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya jika konselor
tidak dapat memegang azas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan
klien, sehingga akhirnya pelayanan bimbingan tidak dapat tempat di hati klien
dan para calon klien; mereka takut untuk menerima bantuan, sebab khawatir
masalah dan diri mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu
terjadi,maka tamatlah riwayat pelayanan bimbingan dan konseling di tangan
konselor yg tidak dapat dipercaya oleh klien itu.
2.
Azas Kesukarelaan
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas azas
kesukarelaan, baik dari pihak terbimbing atau klien, maupun dari pihak
konselor. Klien diharapkan secara suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa
terpaksa, menyampaikan masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan segenap
fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor,
dan konselor juga hendaknya dapat memberikan bantuan dengan ikhlas.
3.
Azas Keterbukaan
Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan suasana
keterbukaan, baik keterbukaan dari
konselor atau keterbuakaan dari pendidik (klien) itu sendiri. Peserta didik
(klien) yang menjada sasaran layanan/kegiatan diharapkan bersifat terbuka dan
tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri
maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi
pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan
keterbukaan peserta didik (klien). Keterbukaan ini sangat terkait pada
terselenggaranya azas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta
didik yang menjadi sasaran layanan/kegiatan. Agar peserta didik dapat terbuka,
guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
4.
Azas Kekinian
Masalah individu yang ditanggulangi ialah masalah-masalah yang
sedang dirasakan bukan masalah yang sudah lampau, dan juga bukan masalah yang
mungkin akan dialami dimasa yang akan datang. Apabaila ada hal-hal tertentu
yang menyangkut masa lampau dan atau masa yang akan datang yang perlu dibahas
dalam upaya bimbingan yang sedang diselenggarakan itu, pemebahasan tersebut
hanyalah merupakan latar belakang dan atau latar depan dari masalah yang
dihadapi sekarang, sehingga masalah yang sedang dialami dapat terselesaikan.
Dalam usaha yang bersifat pencegahan,pada dasarnya pertanyaan yang perlu
dijawab adalah apa yang perlu dilakukan sekarang sehingga kemungkinan
yang kurang baik di masa datang dapat dihindari.
Azas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh
menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh klien atau
jelas-jelas misalnya adanya siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah
segera memberikan bantuan. Konselor tidak selaknya menunda-nunda memberi
bantuan dengan berbagai dalih. Dia harus mendahulukan kepentingan klien dari
pada yang lain-lain. Jika dia benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak
memberikan bantuannya kini, maka dia harus dapat mempertanggungjwabkan bahwa
penundaan yg dilakukan itu justru untuk kepentingan klien.
5.
Azas Kemandirian
Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan si
terbimbing dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau
tergantung pada konselor. Individu yang dibimbing setelah dibantu diarapkan
dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu:
a)
Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya;
b)
Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis;
c)
Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri;
d)
Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu; dan
e)
Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan
kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum diatas haruslah disesuaikan
dengan tingkat perkembangan dan peranan klien dalam kehidupannya sehari-hari.
Kemandirian sebagai hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses
konseling, dan hal itu didasari baik oleh konselor maupun klien.
6.
Azas kegiatan
Usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang
berarti bila klien tidak melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan
bimbingan dan konseling. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan
tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja giat dari klien
sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat klien sehingga ia mampu dan
mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang
menjadi pokok pembicaraan dalam konseling.
Azas ini merujuk pada pola konseling “multi dimensional” yang tidak
hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien dan konselor. Dalam konseling
yang berdimensi verbal pun azas kegiatan masih harus terselenggara, yaitu klien
aktif menjalani proses konseling dan aktif pula melaksanakan/menerapkan
hasil-hasil konseling.
7.
Azas Kedinamisan
Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya
perubahan pada diri klien, yaitu perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik.
Perubahan itu tidaklah sekedar mengulang hal yang lama, yang bersifat monoton,
melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan sesuatu yang lebih
maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan klien yang dikehendaaki.
Azas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendak terdapat
pada dan menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya.
8.
Azas Keterpaduan
Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan sebagai aspek
kepribadian klien. Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek
kepribadian yang kalau keadaanya tidak seimbang, serasi dan terpadu justru akan
menimbulkan masalah. Disamping keterpaduan pada diri klien, juga harus
diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan. Jangan
hendaknya aspek layanan yang satu tidak serasi dengan aspek layanan yang lain.
Untuk terselenggaranya azas keterpaduan, konselor perlu memiliki
wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan aspek-aspek lingkungan klien,
serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah klien.
Kesemuanya itu dipadukan dalam keadaan serasi dan saling menunjang dalam upaya
bimbingan dan konseling.
9.
Azas Kenormatifan
Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan
norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma
hukum/negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari. Azas kenormatifan ini
diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
Seluruh isi layanan harus sesuai dengan norma yang ada. Begitu juga prosesdur,
teknik, dan peralatan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang
dimaksudkan.
10.
Azas Keahlian
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan azas keahlian secara
teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat
(instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk itu, para konselor
perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu akan dapat dicapai
keberhasilan usaha pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah
pelayanan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus
di didik untuk pekerjaan itu.
Azas keahlian selaik mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya
pendidikan sarjanan bidang bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman.
Teori dan praktik bimbingan dan konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu,
seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktik konseling
secara baik.
11.
Azas Alih Tangan (Referral)
Azas ini mengisyaratkan bahwa bila seorang konselor sudah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu klien, namun klien belum dapat
terbantu sebagaimana diharapkan maka
petugas itu mengalihtangankan klien tersebut kepada petugas atau badan lain
yang lebih ahli. Disamping itu, azas ini juga menasihatkan agar petugas
bimbingan dan konseling hanya menangani masalah-masalah klien sesuai dengan
kewenangan petugas yang bersangkutan. Setiap masalah hendaknya ditangani oleh
ahli yang berwenang untuk itu.
12.
Azas Tut Wuri Handayani
Azas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam
rangka hubungan keselurahuan antara pembimbing dan yang dibimbing. Lebih-lebih
dilingkungan sekolah, azas ini makin dirasakan manfaatnya dan bahkan perlu
dilengkapi dengan ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso.
Azas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak
hanya dirasakan adanya pada waktu siswa mengalami masalah dan menghadap
pembimbing saja, namun diluar hungan
kerja ke-BK-an pun hendaknya dirakan adanya dan manfaatnya.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bimbingan
adalah proses pemberian bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok
orang secara terus-menerus dan sistematis oleh pembimbing agar individu atau
sekelompok individu menjadi pribadi yang mandiri, yaitu: (a) mengenal diri
sendiri dan lingkungannya, (b) menerima diri sendiri dan lingkungannya secara
positif dan dinamis, (c) mengambil keputusan, (d) mengarahkan diri, dan (e)
mewujudkan diri.
Sedangkan konseling adalah kontak antara dua orang (konselor atau
konseli) untuk menangani masalah konseli, norma yang berlaku, untuk
tujuan-tujuan yang berguna bagi konseli.
Orientasi Bimbingan dan Konseling di
Sekolah terbagi atas Orientasi Perseorangan, Orientasi
Perkembangan, dan Orientasi Masalah.
Fungsi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
antara lain : Fungsi pemahaman, Fungsi pencegahan, Fungsi pengentasan,
dan Fungsi pemeliharaan dan
pengembangan.
Azas Bimbingan dan Konseling di Sekolah
diantaranya adalah : azas
kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, ahli
tangan, dan tut wuri handayani
B.
Saran
Harapan
kami semoga dengan selesainya makalah ini dapat memenuhi kebutuhan materi
bacaan, terutama bagi para mahasiswa Pendidikan Matematika. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan maupun pengkajiannya masih banyak kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
berbagai pihak, yang paling utama dosen pengampu, sangat kami harapkan, demi
perbaikan di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
A, Hallen.
2002. Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Ciputat Pers.
Prayitno dan
Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa
Ketut, dkk. 2008. Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta.
Wardati dan
Mohammad Jauhar. 2011. Implementasi
Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Surabaya: Prestasi
Pustaka.
Yusuf, Syamsu
dan Juntika Nurihsan. 2012. Landasan Bimbingan
dan Konseling, Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1] Syamsu Yusuf, dkk, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 5
[2] Wardati, dkk, Implementasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
(Surabaya: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 19
[3] Dewa Ketut Sukardi, dkk, Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 3
[4] Prayitno, dkk, Dasar-dasar
Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rieka Cipta, 2004), hlm. 99
[5] Dewa Ketut Sukardi, dkk, op.cit, hlm. 4-5
[6] Syamsu Yusuf, dkk, Op.cit, hlm. 7
[7] Dewa Ketut Sukardi, dkk, Op.Cit, hlm. 6
[8] 234-239
[9] Ibid, hlm. 7-8
[11] Ibid, hlm. 7-8
[12] Wardati, dkk, Op.Cit, hlm. 31-32
[13] Syamsu Yusuf, dkk, Op.Cit, hlm. 19-20
[14] Prayitno, dkk, Op.Cit, hlm. 114-120