A.
KEBUDAYAAN
1.
Pengertian Kebudayaan
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah. Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan
sebagai hal-hal berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture,
juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur”
dalam bahasa Indonesia.[1]
Kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung
pengertian yang luas, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota
masyarakat (Taylor, 1987).[2]
Dalam
Islam, istilah ini disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adab-adab
Islami yang mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami ini
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari Allah
melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan
Rasul-Nya SAW
sebagai teladan terbaik dalam hal etika dan adab ini.
Sebelum
kedatangan Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu
ialah budaya jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh Islam,
misalnya tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain
sebagainya.
Dinul-Islam
sangat menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan
yang universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang
membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia modern untuk
kemaslahatan masyarakat Islami.
Di
dalam Kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa “budaya” adalah pikiran, akal budi, adat
istiadat. Sedang “kebudayaan”
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat.[3]
Kebudayaan
itu ibarat sebuah lensa dimana seperti hal nya saat kita menggunakan lensa,
untuk meneropong sesuatu kita harus memilih suatu objek tertentu yang akan
dilihat secara fokus. Beberapa orang awam mengartikan kebudayaan merupakan
sebuah seni. Padahal sebenarnya kebudayaan itu bukan hanya sekedar seni.
Kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan
kerja dalam kehidupan antar manusia.
Pengertian kebudayaan menurut beberapa ahli:
a. C.A Van Peursen
Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berfikir (mitos, ideology dan
ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi), dan
kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.[4]
b. EB. Taylor
Kebudayaan
adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan kebiasaan lainnya yang
dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.[5]
c. R. Linton
mendefinisikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku
yang dipelajari dari hasil tingkah laku yang unsur-unsur pembentuknya didukung
dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
d.
S.T. Alisahbana
Mendefenisikan kebudayaan adalah manisfestasi suatu bangsa.
e. William H. Haviland
Kebudayaan
adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksnakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku
yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.
f. Robert H. Lowie
Kebudayaan
merupakan segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup
kepercayaan, adat-istiadat, norma – norma artistik, kebiasaan makan, keahlian
yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan
masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal dan informal.
g. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
Kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.[6]
h.
Dr.M. Hatta
Kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa.
i.
Prof.Dr.Koentjaraningrat
Kebudayaan
adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh
tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalamkehidupan masyarakat.[7]
Untuk
melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi
saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur
tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya.[8]
Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah QS. As-Sajdah
7-9 :
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ ÇÐÈ ¢OèO @yèy_ ¼ã&s#ó¡nS `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ä!$¨B &ûüÎg¨B ÇÑÈ ¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B crãà6ô±n@ ÇÒÈ
Artinya:
(7) Yang membuat
segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan
manusia dari tanah.
(8) Kemudian dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina.
(9) Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan
demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya”. Dan dalam satu waktu
Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa
dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.
Al-Qur’an memandang
kebudayaan itu merupakan suatu proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai
eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia
yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan.
Oleh karena itu, secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal,
budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari
nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.[9]
Para
ahli sudah banya menyelidiki berbagai kebudayaan. Dari hasil penyelidikan
tersebut timbul dua pemikiran tentang munculnya suatu kebudayaan atau
peradaban. Pertama, anggapan bahwa
adanya hukum pemikiran atau perbuatan manusia (baca kebudayaan) disebabkan oleh
tindakan yang menuju kepada perbuatan yang sama dan penyebabnya yang sama.
Kedua, anggapan bahwa tingkat kebudayaan atau peradaban muncul sebagai akibat
taraf perkembangan dan hasil evaluasi masing-masing proses sejarahnya.[10]
2.
Konsep Kebudayaan Islam
Secara
umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta, rasa, karsa dan
karya manusia yang tidak lepas dari nilai ketuhanan. Hasil
olah akal, budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai kemanusiaan
yang universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam pengembangannya perlu
dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap
pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan diri
sendiri.
Disini
agama islam berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budaya
sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban islam. Sehubungan
dengan hasil perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau
yang disebut peradaban islam, maka fungsi agama disini akan semakin jelas.
Ketika
perkembangan dan dinamika kehidupan kehidupan umat manusia itu sendiri
mengalami kebekuan karena keterbatasan dalam pemecahan persoalan. Kehidupannya sendiri akan sangat terasa akan
perlunya suatu bimbingan. Wahyu Allah SWT mengangkat seorang rasul dari
golongan manusia yang menjadi sasaran bimbingannya adalah umat manusia.
Oleh
karen itu misi utama Muhammad SAW diangkat sebagai rasul adalah menjadi rahmat
bagi seluruh umat manusia dan alam semesta. Mengawali tugas kerasulannya Nabi
meletakkan dasar-dasar kebudayaan islam yang kemudian berkembang menjadi
peradaban islam. Ketika dakwah islam keluar jazirah arab dan tersebar ke
seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang yang rumit, yaitu asimilasi
budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai islam yang kemudian menghasilkan
kebudayaan islam. Kemudian ini berkembang secara universal.[11]
Menganalisis
konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari
wujud kebudayaan.
Menurut
dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:[12]
a. Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia: Wujud ini
disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan bersifat pada
kepala-kepala manusia yang menganutnya.
b. Kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini
sering disebut sistem sosial.
c. Wujud sebagau benda. Aktivitas manusia yang saling berinteraksi
tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia
untuk mencapai tujuannya.
3.
Prinsip-prinsip Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang diciptakan oleh orang Islam, tetapi
kebudayaan yang bersumber dari ajaran Islam atau kebudayaan yang bersifat
Islami.
Prinsip-prinsip kebudayaan dalam Islam merujuk pada sumber ajaran Islam
yaitu[13]:
a.
Menghormati
akal
Manusia dengan akalnya bisa membangun kebudayaan baru. Kebudayaan Islam
tidak akan menampilkan hal-hal yang dapat merusak manusia. Dijelaskan dalam QS.
Ali-Imran:190
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal”.
b.
Memotivasi
untuk menuntut dan mengembangkan ilmu.
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Muajadalah: 11
Æ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 .....
Artinya:
”Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
berilmu beberapa derajat”.
Ayat
tersebut diatas mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan
dengan cara menjunjung tinggi atau mengadakan dan menghadiri majelis ilmu.
Untuk itu, suatu kebudayaan juga dapat menjadi suatu sumber ilmu yang dapat
memberi berkah dan ilmu yang bermanfaat bagi orang-orang yang melaksanakannya.
Karena Allah akan mengangkat derajat mereka yang telah memuliakan dan memiliki
ilmu di akhirat, pada tempat yang khusus sesuai dengan kemuliaan dan ketinggian
derajatnya.
c.
Menghindari
taklid buta
Kebudayaan Islam hendaknya mengantarkan umat manusia untuk tidak menerima
sesuatu sebelum diteliti. Sebagaimana telah difirmankan Allah Swt:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti dari sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani semua itu akan dimintai
pertanggungjawaban”. (QS. al-Isra:36).
Hikmah dari ayat ini adalah memberikan
batasan-batasan hukuman, janganlah kita mengikuti perkataan dan perbuatan yang
tidak kita ketahui ilmunya. Haram berkata atau berbuat tanpa didasari
oleh ilmu, karena dapat menyebabkan kerusakan. Dan Allah akan menanyakan
seluruh anggota badan dan meminta persaksiannya pada hari Kiamat.
Begitupula dengan kebudayaan, suatu kebudayaan
harus diketahui darimana asal budaya tersebut, apa tujuannya, apa saja unsur-unsurnya,
dan apa saja yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang
berpengetahuan, manusia harus terlebih dahulu mencari tahu bagaimana
keseluruhan kebudayaan yang berlaku tersebut, apakah sudah sesuai syariat dan
tidak menyesatkan manusia ke jalan yang dibenci Allah SWT.
d.
Tidak membuat
pengrusakan
Firman Allah
Swt dalam QS. Al-Qashas: 77
Artinya:
“Janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan”.
Islam membagi kebudayaan menjadi tiga
macam :
1)
Kebudayaan yang
tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah
fiqih disebutkan : “al-Adatu-muhakkamatun”
artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi
yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum
ada ketentuannya dalam syariat Islam.
2)
Kebudayaan yang
sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian direkonstruksi sehingga
menjadi kebudayaan Islami.
3)
Kebudayaan yang
bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya
Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang
diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Umat Islam tidak boleh mengikutinya bahkam Islam
melarangnya karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak
mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan
derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah
meninggal dunia (Ahmadzain, 2006/12/08).
4.
Karakteristik Kebudayaan Islam
Karakteristik
kebudayaan Islam menurut Yusuf Qadhrawi yaitu:
a.
Rabbaniyah (bernuansa ketuhanan)
b.
Akhlaqiyah (perilaku baik dan buruk menurut islam)
c.
Insaniyah (memiliki nilai-nilai kemanusiaan)
d.
‘Alamiyah (bersifat terbuka)
e.
Tassamuh (egaliter)
f.
Tanawwu’ (beranekawarna)
g.
Wasathiyah (bersifat moderat)
h.
Takamul (terpadu)
i.
Bangga terhadap diri sendiri
5.
Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan
norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila
dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas
budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan
great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya
disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi
local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi
Islam.[14]
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam
yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat
pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam
konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan
pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan
center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of
influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great
tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam
pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan
manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya
local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu
kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap
pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik,
yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada
sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan
terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli;
dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan
budaya selanjutnya.[15]
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam
antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa.
Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi
seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional
suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak
menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan
warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga
di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain
kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang
cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat
material dapat dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap
tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan
ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi
masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai
ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun
tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian
bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel,
dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina:
Cek-ban Cut.[16]
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam
Babad Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten
sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype
kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan
Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat
kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana
penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat
perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu
tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa
muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar
kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan
gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim
yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa
membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten
terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di
kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa
Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan
bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat
dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk.
Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan
dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni
beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan
unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki
kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada
acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi
ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan
ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan
peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara
sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar
Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan
daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini
antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar,
dan Marpangir.
[2] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm.19
[3] Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:
Widya Karya, 2005)
[5] Pengertian Kebudayaan Menurut
Para Ahli | Blog Penerang http://www.blogpenerang.com/2013/04/pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli.html
[10] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Aditama, 2001) hlm. 19
[12] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm.19
[14] Azyumardi Azra, Konteks
Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, hal. 13.
[15] Soejanto
Poespowardojo, Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam modernisasi,
kepribadian budaya bangsa (local genius), hal. 28
[16] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam
di Indonesia, hlm. 209.
[22] Said Agil Husin
al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas
Sosial, (Jakarta: Permadani, 2005), hlm. 2005