BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah risalah Allah SWT pada manusia semuanya. Seperti dijelaskan dalam QS.
Al-Furqon:1, sebagai berikut :
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al
Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam”. (Q.S. Al-Furqan:1)
Namun para
ulama telah berbeda pendapat dalam menjelaskan kata al-Qur’an dari sisi:
derivasi (isytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan
apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian. Para ulama yang mengatakan
bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah pun telah terpecah menjadi dua
pendapat:
- Sebagian dari mereka, diantaranya al-Lihyani, berkata bahwa kata “al-Qur’an” merupakan kata jadian dari kata dasar qara’a (membaca) sebagaimana kata rujhan dan ghufran.
- Sebagian dari mereka, diantaranya Al-Zujaj, menjelaskan bahwa kata “Al-Qur’an” merupakan kata sifat yang berasal dari kata dasar “al-qar” yang artinya menghimpun.
Para ulama yang
mengatakan bahwa cara melafalkan kata “Al-Qur’an” dengan tidak menggunakan
hamzah pun terpecah menjadi dua kelompok:
- Sebagian dari mereka, diantaranya adalah Al-Asy’ari, mengatakan bahwa kata “Al-Qur’an” diambil dari kata kerja “qarana” (menyertakan) karena Al-Qur’an menyertakan surat, ayat dan huruf.
- Al-Farra’ menjelaskan bahwa kata “Al-Qur’an” diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat) karena Al-Qur’an terdiri darikata-kata yang saling menguatkan dan kemiripan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya.
Pendapat lain
bahwa Al-Quran sudah merupakan sebuah nama personal (al-‘alam asy-syakhsyi),
bukan merupakan derivasi, bagi kitab yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Al-Qur’an pun
merupakan sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad
adalah benar-benar rasul yang diutus oleh Allah SWT. Rasullullah juga pernah
menantang orang-orang arab dengan Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an diturunkan
dengan bahasa mereka dan mereka pun ahli dengan bahasa itu dan retorikannya.
Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apa pun seperti Al-Qur’an, atau
membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun seperti Al-Qur’an. Maka
terbuktilah kemukjizatan Al-Qur’an dan terbukti pula kerasulan Nabi Muhammad
SAW.
Al-Qur’an
adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman hidup bagi setiap
muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan
Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-nas, bahkan
hunungan manusia dengan alam sekitarnya.[1]
B. Sejarah Pengumpulan al-Qur’an
Al-Qur`an
merupakan kumpulan firman yang
diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh
umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang
tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan
tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[2] Kumpulan firman
(ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan
dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk
seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun
kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi
berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen
yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi.
Sedangkan mushaf
sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf
primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh
Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf
Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf
Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf
Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr,
Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15
versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara
mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf
Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid,
Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf
Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf
Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[3]
Data
yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada
perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan
tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut
adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh
surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist
hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha,
al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir
ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi
adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas,
sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan
laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam
al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada
dalam al-Itqan.[4]
Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik
Adnan Amal yang secara rinci
memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan
mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang
ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai
195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang
masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga
berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah
faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal
yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin
Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya
ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk
kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah
dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin
Affan.
C. Sejarah Penulisan al-Qur’an
Proses
penulisan Al-Qur’an terdiri dari beberapa tahapan atau masa. Yaitu pada masa
Nabi Muhammad SAW, masa khulafa’ur rasyidin, dan pada masa setelah khulafa’ur
rasyidin.
a.
Pada Masa Nabi
Muhammad saw.
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan
oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap
kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga
dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi
Muhammad ditempuh dengan dua cara:
a) Al-Jam’u fis
Sudur
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu
turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis
seperti dijanjikan Allah SWT QS. Al-Qiyamah: 17 sebagai berikut:
“Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu,
Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai
ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar
kepala.
b) Al-Jam’u fis
Suthur
Selain di
hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari
sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin
Sabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan
tempat ayat tersebutdalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu
penghafalan didalam hati.
Proses
penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka
menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma,
tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi
Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi
Muhammad SAW.
b.
Pada Masa
Khalafaur Rasyidin
a) Pada Masa
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sepeningal
Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip)
Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran
yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al Quran yang susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi
tartibin nuzul).
Usaha
pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang
Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad
dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70
orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan hilangnya
Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang.
Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan
Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada
awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin
Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya.
Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan
akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti
Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alas
an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.
b) Pada Masa
Khalifah Ustman bin Affan
Sahabat
Hudzaifan pada masa pemerintahan Utsman menyarankan kepada beliau agar segera
mengusahakan penyeragaman bacaan Alquran dengan cara penyeragman penulisannya.
Hal itu disebabkan oleh perbedaan tentang bacaan Alquran.
Utsman dapat menerima pemahaman atas usul Hudzaifah, kemudian di bentuk panitia
yang terdiri dari 4 orang, yakni terdiri dari:
Ø Zaid bin Tsabit
Ø Sa’id bin Ash
Ø Abdullah bin
Zubair
Ø Abdurrahman bin
Harits
Perbedaan pengumpulan mushaf Alquran pada masa Abu
Bakar dan Ustman ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan Alquran
pada masa Abu Bakar adalah kehawatiran akan hilangnya Alquran karena banyak nya
para huffadz yang gugur dalam peperangan, sedangkan motif pada masa Utsman
adalah karena banyaknya perbedaan cara membaca Alquran, sedangkan dalam
perbedaan dari segi cara, yaitu pada masa Abu Bakar ialah memindahkan tulisan
atau catatan Alquran yang semula bertebaran pada kulit binatang, tulang,
pelepah kurma dsb. kemudian dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang
tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh
huruf (dialek) sebagai mana Alquran diturunkan. sedang cara pengumpulan
yang dilalukan pada masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu dialek
dengan tujuan untuk mempersatukan kaum muslimin.
‘Utsman
bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang
memenuhi persyaratan berikut:
v Harus terbukti
mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
v Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
v Kronologi surat
dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar
yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
v Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai
dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
v Semua yang
bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap
penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin
‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan
salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka
merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada
masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula
penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Motif Utsman mengumpulkan Al-Qur'an
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibnu Malik bahwasanya ia berkata:
"Sesungguhnya Hudzaifah Ibnu al-Yaman datang kepada Utsman, ketika itu,
penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk Irak sedang berperang menaklukkan
daerah Armenia dan Adzerbaijan. Tiba-tiba Hudzaifah merasa tercengang karena
penyebabnya adalah faktor perbedaan dalam bacaan. Hudzaifah berkata kepada
Utsman: "Ya Amirul Mu'minin perhatikanlah umat ini sebelum mereka terlibat
dalam perselisihan dalam masalah Kitab sebagaimana perselisihan diantara kaum
Yahudi dan Nasrani".
Selanjutnya
Utsman mengirim surat kepada Hafsah yang isinya: "Kirimlah kepada kami
lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur'an kami akan menyalinnya dalam bentuk
mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda".
Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan kepada Zaid
ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Said ibnu al-'Ash dan Abdurrahman ibnu
al-Harits ibnu Hisyam lalu mereka menyalinnya dalam mushhaf.
Utsman
berpesan kepada ketiga kaum Quraisy: "Bila anda bertiga dan Zaid ibnu
Tsabit berbeda pendapat tentang hal Al-Qur'an maka tulislah dengan ucapan/lisan
Quraisy karena Al-Qur'an diturunkan dengan lisan Quraisy".[5] Setelah mereka selesai menyalin ke dalam
beberapa mushhaf, Utsman mengembalikan lembaran/mushhaf asli kepada Hafsah.
Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia
memerintahkan agar semua bentuk lembaran/mushhaf yang lain dibakar.(HR. al-Bukhari).
c.
Pada Masa
Setelah Khulafa’ur Rasyidin
Pada masa ini, Mushaf
yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Tersebutlah dua
tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.).
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan
dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M) ketika
proses penyempurnaan naskah Al-Quran (Mushaf Utsmani) selesai dilakukan,
tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali
meletakan tanda titik pada mushaf ‘Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu
Al-aswad Ad-Da’uli, Yahya bin Ya’mar (45-129 H)
dan Nasr bin Ashim Al-Laits (w. 89 H). Adapun orang yang disebut-sebut
pertama kali meletakan hamzah, tasyid, Al-raum, dan al-isymam adalah Al-Khalli
bin Ahmad Al-Frahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H).
Dan untuk pertama kalinya, Al-Quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530.
Penerbit Al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada
tahun 1787, yang menerbitkannya adalah maulaya ‘Utsman.[6]
D. Sejarah Pembukuan al-Qur’an
Sebagaimana
telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya
pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media
pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu
licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi.
Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang
dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu,
hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat
keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[7]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan
Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa
apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk
menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang
menyebutkan begini atau begitu”.[8]
Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak
disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya
pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar
belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang
mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam
memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu
Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di
kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara
mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain,
disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir
dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum
perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha
awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan
jenius serta mereka yang terkenal pandai
memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi
‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke
setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang
menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena
itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang
terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut,
lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai
rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr,
Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan
Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung
pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا
اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ
بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
“Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka
hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat
Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.”[9]
Setelah
memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang
kemudian melahirkan satu Mushaf yang
satu dan dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah
untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara
mereka. Sedangkan Mushhaf yang
lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
[1] Choiruddin Hadhiri, SP., Klasifikasi Kandungan
al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press,1993), Cet. I, hal. 25.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), diunduh pada hari Sabtu, 23 Februari 2013
[3] Taufik
Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama,2001), hlm.158-159
[4] Nashif
Ubadah. http://ealah.blogspot.com/2008/04/upaya-sahabat-dalam-pengumpulan-mushaf.html, diunduh tanggal 27 Februari 2013
[5]
Prof.Dr.T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang,1980) hlm.103-105
[6] Lutfi Nurul Aulia, http://lutfi-nurul-aulia.blogspot.com/2012/05/makalah-pengantar-study-al-quran.html, diunduh hari Sabtu, 30 Maret 2013
[9] Manna’
al-Qaththan, Mabahits Fiy
‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.), hlm. 128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar