Tugas Terstruktur Dosen Pengampu
Sejarah Islam Asia Tenggara Nelly Yusra M.Ag
ISLAM DI FILIPINA
O
L
E
H
KELOMPOK
8
INDAH YUNI SAPUTRI NIM : 11215201591
MERI ARISKA NIM :
11215204524
MILLA
EKA PUTRI NIM
: 11215201324
Mahasiswa Pendidikan Matematika Semester
5 D
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim RIAU
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam Di Filipina
Islam
masuk ke Filipina sebelum penjelajah Spanyol menginjakkan kaki ke tanah negeri
ini. Itu dibuktikan dengan adanya laporan seorang pengembara China pada zaman
Dinasti Yuan pada tahun 1280-1380.
Muslim di Filipina biasanya
dikenali sebagai masyarakat Moro. Mereka umumnya berdiam di Pulau Mindanao
(pulau kedua terluas di Filipina), kepulauan Sulu, Palawan, Basilan, dan
Pulau-pulau sekitarnya. Sejumlah literatur menyebutkan istilah Moro merujuk kepada
kata Moor, Mariscor, atau Muslim. Kata Moor berasal dari istilah latin, Mauri, sebuah
istilah yang sering digunakan orang-orang romawi kuno untuk menyebut penduduk
wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah
Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat
seperti orang-orang Moor di Spanyol Andalusia, mereka mulai menyebut
orang-orang di Filipina dengan istilah Moro.[1]
Islam masuk ke wilayah Filipina
selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380. Orang pertama yang
memperkenalkan Islam ke Sulu adalah Tuan Mashaika yang diduga telah sampai di
Sulu pada abad ke 13. Keturunannya kemudian menjadi inti komunitas Muslim di
Sulu. Berikutnya yang datang menyebarkan
Islam di Sulu adalah ulama Arab bernama Kamirul Makhdum pada paroh abad ke 14.
Ia diterima dengan baik oleh komunitas Muslim Buansa. Aktivitas keagamaan yang
digerakkannya memperkuat pertumbuhan komunitas Islam yang dibentuk oleh
pendahulunya, Tuan Mashaika.
Ini berarti kedatangan Islam di
Filipina jauh lebih awal dari kedatangan kolonial barat, khususnya bangsa
Spanyol yang masuk ke kawasan itu pada tahun 1566 M.
Pada awal abad ke-15, penyebar
Islamlainnya datang ke Sulu, yaitu Raja Baginda. Menurut catatan sejarah Raja
Baginda adalah seorang pangeran dari Minangkabau. Menurut cerita, ketika ia
baru tiba di kepualauan Sulu, masyarakat setempat bermaksud mengaramkan
kapalnya,namun sikapmereka secara dramatis berubah ketika mereka tahu bahwa
Raja Baginda seorang Muslim. Disini ada hal yang patut dicatat bahwa proses
Islamisasi sudah mencapai tahap dimana menjadi muslim telah menjadi paspor
untuk dapat diterima dalam sebuah komunitas.[2]
B. Islam Pada Masa Kolonial
1.
Masa
Kolonial Spanyol
Dalam sejarahnya, Filipina pernah
dijajah oleh Spanyol dan Amerika. Islam sudah berkembang di Filipina ketika
kolonial Spanyol datang menjajah Filipina pada 16 Maret 1521. Kesultanan Sulu
yang berdiri tahun 1450, saat itu berusia 71 tahun. Ketika Legafzi sampai tahun
1565, kesultanan ini sudah berumur 115 tahun. Jelas saja Islam menjadi sandaran
dan acuan, sekaligus menjadi identitas mereka dalam melawan pihak kolonial.
Pasukan Spanyol masuk ke Filipina dan
menyerang dari arah selatan. Akibatnya, kesultanan Manila jatuh ke tangan
Spanyol pada tahun 1570, sedangkan kesultanan Muslim lainnya di Mindanao dan
Sulu dapat mempertahankan wilayahnya. Muslim Mindanao dan Sulu berbeda dengan
wilayah utara yang mudah ditaklukkan tanpa ada perlawanan berarti melakukan
perlawanan sangat gigih terhadap Spanyol. Tentara kolonial Spanyol harus
bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan
Sulu takluk tahun 1876). Mereka juga menghabiskan lebih dari 375 tahun masa
kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslim. Walaupun
demikian, kaum Muslim tidak pernah dapat ditundukkan secara total.
Tahun 1578 terjadi perang besar yang
melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah utara yang telah
dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol. Kemudian diadu
domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga
terjadilah peperangan antara orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan
“misi suci”. Dari sinilah kemudian
timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang kristen Filipina terhadap bagsa
Moro yang Islam sampai sekarang.
2.
Masa
Kolonial Amerika Serikat
Amerika datang ke Mindanao dengan
menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal
ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1989) yang
menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan
mendapatka pendidikan bagi bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik
mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang
sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakkan kaum revolusioner Filipina
Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah
pada 1902, kebijakkan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur
tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903) Mindano dan
Sulu disatukan menjadi wilayah provinsi Moroland dan berada dibawah pengawasan
Amerika di Manila.[3]
Selama periode 1989-1902, AS ternyata
telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan diwilayah
Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan peride 1903-1913
dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan
tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan
strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan.
Kebijakan
pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang
sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya,
kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan
basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika
memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan
mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen.[4]
3.
Masa
Transisi (Peralihan)
Masa
pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika
ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland
ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS
yang sangat kapitalistis seperti :
a.
Land Registration Act No. 496
(November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk
tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah.
b.
Philippine Commission Act No. 718 (4
April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala
Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin
dari pemerintah.
c.
Public Land Act No. 296 (7 Oktober
1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land
Registration Act No. 496 sebagai tanah negara.
d.
The Mining Law of 1905 yang
menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka
untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS
e.
Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk
setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang
lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah.
Pada intinya ketentuan tentang hukum
tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat
dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang
menguntungkan para kapitalis. [5]
C. Respon
Pemerintah terhadap Islam Pasca Merdeka
dari Kolonial
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina
pada tanggal 4 Juli 1946 M dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti
khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari
Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Tekanan
semakin terasa kuat dan berat ketika Ferdinan Marcos berkuasa dari tahun
1965-1986.
Kebijakan umum pemerintah Filipina
terhadap kaum muslim Moro dasarnya tidak berubah intensitasnya dari satu
presiden ke presiden lainnya. Pemerintah Filipina mempunyai 4 titik pandang terhadap
kaum Muslim Moro, yaitu:
1.
Pemerintah masih memegang pandangan
kolonial yaitu Moro yang baik adalah Moro yang mati.
2.
Kaum Muslim adalah warga kelas dua
di Filipina.
3.
Kaum Muslim adalah penghambat
pembangunan.
4.
Masalah Moro adalah masalah
integrasi, yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalamarus utama (main stream) tubuh politik nasional.
Pada masa ini perjuangan Bangsa Moro
memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir
dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun
pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi
faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal
kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis
Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap
perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa
Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino
(1948-1953).
MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro
akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan
Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic
Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang
murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina
Selatan.[6]
D. Problema Minoritas Muslim di Filipina
Minoritas muslim yang hidup dan berkembang di
Filipina menghadapi problema kelompok minoritas yaitu masyarakat muslim menjadi
kelompok minoritas yang hidup berdampingan dengan penguasa/pemerintahan
nonmuslim. Kelompok minoritas ini dalam dilema bagaimana melakukan rekonsiliasi
antara keyakinan Islam fundamental di negara-negara yang didominasi oleh
penguasa nonmuslim.
Persoalan integrasi merupakan persoalan paling
mendasar bagi kedua kelompok muslim minoritas di dunia, termasuk Filipina.
Kebijakan pemerintah menginginkan asimilasi dari integrasi yang tidak fair,karena
membahayakan dan menghilangkan identitas mereka sebagai muslim.[7]
E. Diskrimasi Sosial budaya Muslim di
Filipina
Diskriminasi sosial budaya oleh
pemerintah terhadap kaum minoritas muslim
kepada Muslim Filipina adalah Penyerobotan atas tanah leluhur,
penggantian nama islam dan model perlawanannya pada awalnya berupa sabotase dan
perlawanan fisik ketika ada gerakan MNLF yang dipimpin oleh Nur Misuari,
meskipun akhirnya cenderung akomodatif dan lebih menggunakan diplomasi. MILF
yang dipimpin oleh Hashim Salamat dan kelompok Abu Sayyaf sampai sekarang masih
melakukan fisik.
Bangsa moro terbagi dalam beberapa
kelompok . Mereka berjuang dengan
mengatasnamakan kepentingan bangsa Moro. Tiga terbesar adalah MNLF (Moro National
Liberations Front), MILF (Moro Islamic Liberations Front) dan kelompok Abu
Syyaf. Perundinagn yang selama ini dilakukan adalah antara MNLF dan pemerintah
Filipina. Perlakuan pemerintah Manila terhadap Moro secara umum sangat
diskriminatif, kebijakan nasional terhadap wilayah Mindanao juga diskriminatif,
padahal wilayah itu juga tinggal dengan orang-orang nonmuslim dan pendudukasli
(Lumad).
Perjuangan bangsa Moro dapat dibagi
menjadi 3 fase yaitu :
1. Moro berjihad melawan penguasa Spanyol
selama 377 tahun (1521-1898).
2. Moro berusaha bebas dari kolonial
Amerika selama 47 tahun (1898-1946).
3. Moro melawan pemerintah Filipina
(1970-sekarang).
Sejak Filipina memperoleh
kemerdekaan tahun 1946 pemerintah Manila membuat program pemukiman bagi orang
kriten dan Luzon dan Visayas di wilayah Moro. Pada waktu itu
Muslim Moro tidak terganggu karena administrasi wilayah diatur oleh kalangan
muslim Moro sendiri. Tetepai kemudian para pemukim kristen dengan dukungan
pemerintah Manila mulai mengambil alih posisi strategis di bidang politik dan
ekonomi,segera setelah mereka memenuhi tanah Moro.[8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar